BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Interpretasi dari makna tauhid itu
sendiri adalah bagaimana hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
dengan manusia tidak terjadi ketimpangan, artinya manusia harus bisa
menempatkan dirinya sebagai hamba Allah yang selalu menundukan dirinya dengan
melakukan ibadah mahdhoh.Dan dalam pembahasan mengenai tauhid ini, tauhid
merupakan sesuatu hal yang paling penting dalam agama islam,dimana tauhid
mengambil peran penting dalam membentuk pribadi-pribadi yang tangguh,selain itu
tauhid juga merupakan inti atau akar daripada “aqidah islamiyah”. Namun rupanya
saat ini pembahasan masalah antara aqidah dengan tauhid menjadi sesuatu yang
terkesampingkan dalam kehidupan, cenderungnya masyarakat yang hedonis dengan
persaingan hidup yang begitu ketat, sehingga urusan duniawi menjadi suatu hal
yang menyita perhatian manusia dengan hal lainnya.maka dari itu kita sebagai
manusia harus memperkuat hubungan manusia dengan Allah. Selain itu juga harus
mampu memahami gejala-gejala sosial yang terjadi pada masyarakat. Sehingga
tidak akan terjadi ketimpangan antara hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia.
Maka
dari itu diharapkan penulisan makalah ini, selain pengetahuan yang luas tentang
tauhid sebagai intisari peradaban, harus diimbangi dengan ilmu sosial
kemasyarakatan sehingga menghantarkan umat islam menuju kejayaan yang tidak
pernah tertandingi.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini rumusan masalah
yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian tauhid menurut islam?
2. Apa
pengertian dari tauhid sebagai cabang ilmu?
3. Apa
pengertian tauhid sebagai dimensi metodologi?
4. Bagaimana
manifestasi tauhid dalam kehidupan?
5. Bagaiamana
paradigma Al-Qur’an dalam perumusan teori sosial?
6. Bagaimana
paradigma islam tentang transformasi nilai-nilai sosial?
7. Bagaimana
pemikiran islam tentang transpormatif dan peranan kader Muhammadiyah itu
sendiri?
C. Tujuan:
Berdasarkan dari perumusan masalah
yang telah disebutkan diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini antara
lain:
1. Memahami
dan mempelajari tentang pengertian tauhid menurut islam
2. Memahami
dan mempelajari tentang pengertian dari tauhid sebagai cabang ilmu
3. Memahami
dan mempelajari tentang pengertian tauhid sebagai dimensi metodologi
4. Memahami
dan mempelajari tentang manifestasi tauhid dalam kehidupan
5. Memahami
dan mempelajari paradigma Al-Qur’an dalam perumusan teori sosial
6. Memahami
dan mempelajari paradigma islam tentang transformasi nilai-nilai sosial.
7. Memahami
dan mempelajari tentang pemikiran islam tentang transpormatif dan peranan kader
Muhammadiyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Tauhid menurut islam
Tauhid adalah bahasa arab yang diambil dari kata “Wahada-Yuwahidu-Tauhiddan”( ÙˆØد- يوØد-
توØيدا ) yang secara sederhana dapat
diartikan mengesahkan.Tauhid merupakan satu suku kata wahid (واØد) dan kata ahad. Wahid berarti satu dan ahad yang berarti esa.
Tauhid
didalam ajaran islam berarti sebuah keyakinan akan keesaan Allah. Inilah inti
dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma islam. Karena itu islam dikenal
sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan. Selanjutnya, dalam
perkembangan sejarah kaum muslimin, tauhid telah berkembang menjadi nama salah
satu cabang ilmu Islam, yaitu ilmu Tauhid yakni ilmu yang membahas segala
kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil - dalil keyakinan dan
hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa.
2.
Tauhid
sebagai cabang islam
Tauhid didalam
kajiannya sebagai salah satu cabang ilmu telah diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian yaitu :
a. Tauhid dalam
Rububiyyah
Dalam Islam, hakikat manusia beragama adalah meyakini
adanya tuhan. Bentuk dari keyakinan itu adalah mengabdikan diri kepada-Nya
dengan segenap anggota tubuh (jawahir).
Dalam tataran tauhid rububiyah pada dasarnya manusia berada pada
posisi yang sama, yaitu meyakini suatu realitas wujud yang maha sempurna.
Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang
memiliki,merencanakan,menciptakan,mengatur,memelihara serta menjaga seluruh
alam semesta. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surat
Az-Zumar ayat 62 yang
berbunyi :
“ Allah pencipta segala sesuatu dan dia yang memelihara segala sesuatu
itu”
b. Tauhid dalam
Uluhiyyah
Tauhid Ulluhiyah merupakan suatu penegasan bahwa tuhan
adalah Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Beriman bahwa hanya Allah semata
yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Beriman terhadap ulluhiyah
Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyah-Nya.Sebagaimana
telah disebutkan dalam Firman Allah surat Al Imran ayat 18 yang berbunyi :
“Allah menyatakan bahwa tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang - orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”.
c. Tauhid
dalam Asma wa sifah
Beriman bahwa Allah
memiliki nama dan sifat yang baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagungan
Nya. Umat Islam
mengenal 99 asma’ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah.
Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
“ Hanya milik Allah Asma-ul husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam menyebut nama-nama Nya. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan”.
3.
Tauhid
sebagai dimensi metodologi
Sebagai intisari peradaban islam,
tauhid memiliki dua segi atau dimensi: segi metodologis dan konseptual. Yang
pertama menentukan bentuk penerapan dan implementasi prinsip pertama peradaban.
Yang kedua menentukan prinsip pertama itu sendiri.
Dimensi
metodologis meliputi tiga perinsip yaitu : kesatuan, rasionalisme dan
toleransi. Ketiganya ini merupakan bentuk peradaban islam.
a. Kesatuan:
Tak
ada peradaban tanpa kesatuan. Jika unsur-unsur peradaban tidak bersatu dan
selaras satu dengan yang lainnya, maka unsur-unsur itu bukan membentuk
peradaban, melainkan himpunan campur aduk. Prinsip menyatatukan berbagai unsur
dan memasukan unsur-unsur itu didalam kerangkanya sangat penting. Prinsip
seperti ini akan mengubah campuran hubungan unsur-unsur satu dengan lainnya
menjadi bangunan rapi dimana tingkat prioritas atau derjat kepentingan dapat
dirasakan. Perdaban islam menempatkan unsur-unsur dalam bangunan rapi dan
mengatur eksistensi dan hubungannya berdasarkan pola yang seragam. Unsur-unsur
itu sendiri ada yang asli dan ada yang berasal dari luar. Tidak ada peradaban
yang tidak mengambil unsur dari luar. Yang penting adalah bahwa peradaban
mencerna unsur it, yaitu mempola kembali bentuk dan hubungannya sehingga
menyatu ke dalam sistemnya sendiri. Secara organis, unsur-unsur itu bukan
bagian dari peradaban itu. Namun jika peradaban ini telah berhasil mengubah
mereka dan mengintgrasikannya ke dalam sistemnya, maka proses integrasi menjadi
indeks vitalitas, dinamisme dan kreativitasnya dalam setiap peradaban integral,
dan tentu saja daam islam, unsur-unsur pembetuknya, baik unsur
material,struktural atau relasional, semuanya diikat oleh prinsip utama. Dalam
peradaban islam, perinsip utama ini adalah “Tauhid”. Inilah tongkat pengukur utama orang islam, pembimbing dan
pencarinya dalam berhadapan dengan agama dan peradaban lain, dengan fakta atau
situasi baru.
b. Rasionalisme:
Rasionalisme
membentuk intisari peradaban islam. Rasionalisme terdiri atas tiga aturan
yaitu: pertama menolak semua yang
tidak berkaitan dengan realitas, kedua menafikan
hal-hal yang sangat bertentangan, ketiga terbuka terhadap bukti
baru.Rasionalisme mempelajari tesis-tesis yang bertentangan berulang-ulang,
dengan anggapan bahwa pasti ada segi pemikiran yang terlewat yang jika
dipertimbangkan akan mengungkapkan hubungan yang bertentangan.
c. Toleransi:
Toleransi
adalah penerimaan terhadap yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Dengan
demikian toleransi relevan dengan epistemologi. Ia juga relevan dengan etika
sebagai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ke tidak layakannya
tersingkap. Yang pertama disebut sa’ah; yang kedua yusr. Keduanya melindungi
seorang muslim dari menutup diri terhadap dunia dari konservatisme. Keduanya
mendesaknya untuk menegaskan dan mengatakannya terhadap kehidupan, dan terhadap
pengalaman baru. Keduanya mendorongnya untuk menyampaikan data baru dengan pikirannya
yang tajam, usaha konstruktifnya. Dan dengan demikian memperkaya pengalaman dan
kehidupannya, dan selalau memajukan budaya dan peradabannya. Sebagai prinsip
metodologis di dalam intisari peradaban Islam, toleransi adalah keyakinan bahwa
Tuhan tidak membiarkan umat-Nya tanpa mengutus rasul dari mereka sendiri. Rasul
yang akan mengajarkan bahwa tak ada Tuhan kecuali Allah, dan bahwa mereka patut
menyembah dan mengabdi kepada-Nya, untuk memperingatkan mereka bahaya kejahatan
dan penyebabnya. Dalam hubungan ini, toleransi adalah kepastian bahwa semua
manusia dikaruniai sensus communis, yang membuat manusia dapat mengetahui agama
yang benar, mengetahui kehendak dan perintah Tuhannya. Toleransi adalah
keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor
yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktunya yang berbeda, prasangka,
keinginan, dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama berdiri al-din
al-hanif, agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum
akulturasi membuat manusia menganut agama ini atau itu.
4. Manifestasi tauhid dalam kehidupan
Tidak dipungkiri
lagi tauhid merupakan basis seluruh keimanan, norma dan nilai. Tauhid
mengandung muatan doktrin yang sentral dan asasi dalam islam yaitu: mengesakan
Allah yang berasal dari kalimat “ La ilaha illallah” bahwa tidak ada tuhan
selain Allah. Dalam pandangan empiris secara umum, tauhid seolah hanya sebuah konsep yang
membuat orang hanya mampu berkutat pada doktrin itu semata. Kesan yang timbul
adalah tauhid hanyalah untuk diyakini dan diucapkan, tidak lebih. Padahal
praktek tauhid yang dicontohkan oleh Rasulullah tidaklah seperti itu. Tauhid
tidak berhenti hanya sebatas doktrin, tapi harus ditunjukkan dengan sikap dalam
kehidupan. Dengan itu akan lahirlah rasa kebahagiaan dan kedamaian dalam setiap
dimensi kehidupan.
a.
Refleksi Makna Tauhid
Kalimah
syahadah adalah doktrin yang bersifat fundamental dan menyeluruh berupa
kesaksian imani tentang keyakinan akan keesaan Allah yang bersifat mutlak yng
didalamnya terkandung keyakinan imani tentang Allah yang maha segala-galanya
dalam totalitas kedaulatan Tuhan atas kehidupan, jagad raya dan isinya. Tauhid sebagai
sentral dan dasar keyakinan dalam Islam ini menjadi sumber totalitas sikap dan
pandangan hidup umat dalam keseluruhan dimensi kehidupan. Pandangan Tauhid yang
bersifat menyeluruh ini selain melahirkan keyakinan akan ke-esan Allah (unity
of Good head) juga melahirkan konsepsi ketauhidan yang lainnya dalam wujud
keyakinan akan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan
kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan pedoman hidup (unity of guidance),
dan kesatuan tujuan hidup (unity of tbe purpose of life) umat
manusia. Sejalan dengan itu, ulama besar dan mufassir al-Qur`an Thabathaba’i
mengatakan “tauhid, bila diuraikan akan menjadi keseluruhan Islam, dan bila
Islam dirangkum akan diperoleh tauhid”. Tauhid bagaikan khazanah yang
disatukan. Pada permukaannya akan kelihatan prinsip akidah yang sederhana, tapi
apabila direntangkan ia akan meliputi seluruh alam. Artinya, keseluruhan Islam
adalah suatu tubuh yang terbentuk dari berbagai anggota dan bagian, sedangkan
jiwanya adalah tauhid. Ketika tauhid (sebagi ruh) terpisah dari anggota dan
bagian itu (dalam bentuk amaliyah dan sikap), maka yang akan terbentuk hanyalah
sebuah bangkai yang tak bernyawa atau mati.
b.
Peranan tauhid bagi kemanusiaan
Tauhid,
dengan serangkaian nilai yang dikandungnya, hari ini mendapatkan tantangan yang
cukup besar. Dimana konsep tauhid tidak cukup hanya dipahami sebagai doktrin
semata yang ternyata tidak mampu menjawab persoalan zaman hari ini. Sebagai
muslim, tidaklah cukup kalimat tauhid tersebut hanya dinyatakan dalam bentuk
ucapan (lisan) dan diyakini dalam hati, tetapi harus dilanjutkan dalam bentuk
perbuatan. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, berarti semua ibadah murni (mahdhah)
seperti shalat, puasa, haji, dan seterusnya memiliki dimensi sosial. Kualitas
ibadah seseorang sangat tergantung pada sejauh mana ibadah tersebut
mempengaruhi perilaku sosialnya.Tauhid membentuk manusia dapat menempatkan
manusia lain pada posisi kemanusiaanya. Manusia tidak dihargai lebih rendah
dari kemanusiaanya sehingga diposisikan bagai binatang, atau lebih tinggi bagai
tuhan. Ketika itu, maka berbagai kerusuhan berjubah agama yang selalu muncul
silih berganti di berbagai belahan bumi ini tak perlu terjadi. Seperti contoh,
sejarah perang salib yang merupakan potret pertentangan panjang antar pemeluk
Islam-Kristen. Dalam wilayah kepentingan hidup umat manusia, konsepsi tauhid
sesungguhnya mempunyai banyak dimensi aktual, salah satunya adalah dimensi
pemerdekaan atau pembebasan dari segala macam perbudakan, (tahrirun nas min
‘ibadatil ‘ibad ila ‘ibadatillah.). Diharuskannya manusia bertauhid dan
dilarangnya menyekutukan Allah yang disebut syirik, bukanlah untuk
kepentingan status-quo Tuhan yang memang maha merdeka dari interes-interes
semacam itu, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan demikian
terjadi proses emansipasi teologis yang sejalan dengan fitrah kekhalifahan
manusia di muka bumi. Manusia bukanlah sekadar abdi Allah, tetapi juga khalifah
Allah di muka bumi ini. Karenanya, manusia harus dibebaskan dari
penjara-penjara thaghut dalam segala macam konsepsi dan perwujudannya, yang
membuat manusia menjadi tidak berdaya sebagai khalifah-Nya. Sehingga dengan
keyakinan tauhid itu, manusia menjadi tidak akan terjebak pada kecongkakan
karena di atas kelebihan dirinya dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya
masih ada kekuasaan Allah Yang Maha segala-galanya. Selain itu, manusia diberi
kesadaran yang tinggi akan kekhalifahan dirinya untuk memakmurkan bumi ini yang
tidak dapat ditunaikan oleh makhluk Tuhan lainnya sehingga dirinya haruslah
bebas atau merdeka dari berbagai penjara kehidupan yang dilambangkan thaghut.
Dengan ketundukan kepada Allah sebagai wujud sikap bertauhid dan bebasnya
manusia dari penjara thaghut maka hal itu berarti bahwa manusia sungguh
menjadi makhluk merdeka di muka bumi, sebuah kemerdekaan yang bertanggungjawab
selaku khalifahNya. Karenanya, secara rasional dapat dijelaskan bahwa
keyakinan kepada Allah yang Maha esa sebagaimana doktrin tauhid mematoknya
demikian, selain memperbesar ketundukan manusia dalam beribadah selaku
hamba-Nya, sekaligus memperbesar dan mengarahkan potensi kemampuan manusia
selaku khalifah-Nya di atas jagad raya ini. Dengan demikian, selain pada aras
individual, tauhid memiliki dimensi aktualisasi bermakna pembebasan atau
pemerdekaan pada aras kehidupan kolektif dan sistem sosial.
c.
Tauhid dalam menjawab permasalahan pluralitas
Kini,
secara kebetulan umat Islam di Indonesia adalah penduduk terbesar, karenanya
implementasi sikap hidup tauhid sangatlah dituntut dari setiap muslim dalam
menyehatkan sistem dan memberdayakan rakyat di berbagai aspek kehidupan baik di
bidang politik, ekonomi, budaya, dan aspek-aspek kehidupan penting lainnya.
Lebih-lebih ketika para muslim itu memiliki posisi dan otoritas formal yang
penting serta menentukan kepentingan atau hajat hidup orang banyak. Umat Islam
secara kolektif dan orang-orang Islam secara individual dituntut untuk menjadi
teladan yang terbaik dalam mempraktekkan kehidupan dan membentuk bangunan
sosial yang bagus, sebagai pancaran sikap hidup tauhid. Inilah yang dikehendaki
dalam wacana dan perspektif tauhid sosial. Dalam aktualisasi konkretnya,
tuntutan untuk mengaktualisasikan tauhid dalam kehidupan sosial sebagaimana
komitmen dari tauhid sosial, tentu saja tidaklah bersifat sederhana dan bahkan
terbilang merupakan tantangan berat karena akan bersinggungan dengan beragam
kepentingan yang melekat dalam diri manusia selaku aktor sosial dan pada
struktur atau sistem sosial. Tidak jarang terjadi kecenderungan, secara formal
seseorang itu bertauhid dalam artian tidak menjadi musyrik, tetapi dalam
kehidupan sosialnya mempraktekkan hal-hal yang bertentangan dengan esensi dan
makna tauhid. Kecenderungan ini terjadi, sebab besar kemungkinan bahwa apa yang
dinamakan thaghut sebagai perlambang tuhan selain Allah, ketika
bersarang dalam diri manusia mungkin lebih bersifat satu wajah yang bernama
hawa nafsu atau pikiran-pikiran sesat yang bersifat individual, tetapi ketika
masuk ke dalam struktur sosial akan banyak sekali wajah dan perwujudannya dalam
bentuk jahiliyah sistem sebagai akumulasi dari pertemuan seribu satu hawa nafsu
dan pikiran-pikiran sesat yang bersifat kolektif. Karenanya sebagai perwujudan
atau aktualisasi bertauhid, boleh jadi ada orang salih secara individual,
tetapi tidak salih secara sosial. Sebab pengalaman empirik menunjukkan,
menciptakan sistem sosial yang salih bukan pekerjaan gampang. Hal yang paling
buruk ialah, banyak orang yang secara individual tidak salih hidup di tengah
sistem sosial yang munkar.
5. Paradigma Al-Qur’an dalam perumusan teori sosial
Dalam hal ini teori sosial yang
didasarkan kepada Al-Qur’an, pertama-tama adalah bahwa kita perlu memahami
Al-Qur’an sebagai paradigma. Dan maksud dari paradigma ini adalah seperti yang
dipahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi
oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada
gilirannya akan menghasilkan mode of
knowing tertentu pula. Dalam pengertian ini, paradigma Al-qur’an berarti
suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas
sebagaimana Al-Qur’an memahaminya. Konstuksi pengetahuan itu dibangun oleh
Al-Qur’an pertama-tama dengan tujuan agar kita memiliki hikmah yang atas dasar
itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al-Qur’an,
baik pada level moral maupun sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan itu
juga memungkinkan kita merumuskan desain besar mengenai sistem islam, termasuk
dalam hal sistem ilmu pengetahuannya. Kita sebagai orang muslim yang beriman
kepada Allah dan iman kepada kitab-kitabnya selain mengenal Al-Qur’an, kita
harus tahu bagaimana cara memahami Al-Qur’annya dengan baik. Salah satu
pendekatan yang bisa memperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang
komprehensif terhadap Al-Qur’an yaitu pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan
ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama yang berisi tentang konsep-konsep, bagian kedua berisi
kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal.
6. Paradigma islam tentang transformasi nilai-nilai
sosial
Salah satu kepentingan terbesar
islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat
sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua
ideologi atau filsafat sosial menghadapi suatu pertanyaan pokok tentang
bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang menuju kepada
keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya. Elaborasi terhadap pertanyaan
tersebut biasanya dapat menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk
menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini, dan sekaligus
memberikan “insight” mengenai perubahan dan transformasinya. Sebagai sebuah
ideologi sosial, islam juga menderviasi teori-teori sosialnya sesuai dengan
paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai
dengan cita-citanya. Oleh karena itu menjadi sangat jelas bahwa islam sangat
berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi juga
diubah dan dikendalikan. Tidaklah islami jika, kaum muslim bersikap acuh tak
acuh terhadap kondisi struktural masyarakatnya, sementara tahu bahwa kondisi
tersebut bersifat munkar. Sikap etis seperti ini mungkin akan menghasilkan bias
dalam paradigma teori sosial islam. Islam memiliki dinamika dalam untuk
timbulnya desakan pada adanya transformasi sosial secara terus-mnerus, ternyata
berakar juga pada misi ideologisnya yaitu cita-cita untuk menegakkan amar
ma’ruf dan nahi mungkar dalam masyarakat didalam kerangka keimanan
kepada Allah. Sementara amar ma’ruf berarti humanisasi dan emansipasi, nahi
mungkar merupakan upaya untuk
liberasi. Dan karena kedua tugas itu berada dalam keranngka keimanan, maka
humanisasi dan liberasi merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dari
transendensi. Di setiap masyarakat, dengan struktural dan sistem apa pun, dan
dalam tahap historis yang manapun, cita-cita untuk himanisasi, emansipasi,
liberasi dan transendensi akan selalu memotivasikan gerakan transformasi islam.
7. Pemikiran islam tentang transformatif masyarakat
Saat ini
teologi islam mendapat rintangan yang sangat besar. Dimana teologi tidak cukup
hanya dipahami sebagai ilmu tentang ketuhanan. Namun lebih dari itu dituntut
untuk menterjemahkan apa yang disebut sebagai “kebenaran agama” dalam kontek
realitas kehidupan manusia. Dengan begitu teologi bukan sekedar sebuah wacana
ilmu ketuhanan yang cenderung hanya begerak pada wilayah ide, melainkan juga
dapat menumbuhkan “kesadaran teologis” yang bersifat praktis bagai kalangan
beragama dalam rangka memecahkan problem-problem sosial yang menghimpit
kehidupan umat manusia. Untuk itu, agama membutuhkan sebuah agenda baru berupa
teologi (Islam) yang bervisi transpormatif . Yakni suatu rumusan normatif
tentang bagaimanakah seharusnya agama dapat terlibat dalam masalah-masalah
sosial sekaligus memberikan jawaban dan komitmen atas masalah itu, yang
tentunya sesuai perkembangan zaman. Sehingga agama (Islam) tetap menjadi spirit
perjuangan memperoleh keadilan sosial yang menyeluruh. Teologi transpormatif
merupakan sebuah penyatuan teologi dan analisis sosial untuk dimanfaatkan dalam
kehidupan sosial-keagamaan hari ini. Kalangan teologi transpormatif, dalam
masalah ekonomi misalnya, beranggapan bahwa pemerataan ekonomi dalam rangka
membasmi kemiskinan harus melalui perombakan kelembagaan atau struktur sosial
yang ada tujuannya adalah mentranpormasikan alokasi sumber daya sehingga dapat
dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat banyak.
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Dari
yang telah teruraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa tauhid merupakan inti
pokok agama islam sebagai pengakuan umat islam terhadap pencipta yang mutlak
dan tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT. Sebagaimana yang telah di
firmankan oleh Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW “orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman(syirik), mereka itulah
oarng yang mendapat keamanan. Mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Al-An-nam:82)
Dan Rasulullah bersabda:“Allah
ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, seandainya enkau datang kepada-Ku dengan
membawa dosa sepenuh jagad, lantas engkau menemuiku dalam keadaan tidak
menyekutukan-Ku dengan suatu apa pun, maka Aku akan memberimu ampunan sepenuh
jagad itu pula,” (HR.Tirmidzi 3540)
Selain itu juga kita harus bisa
bersosialisasi dengan semua masyarakat sehingga dari kita memiliki ketauhidan
kepada sang kholiq pada diri kita kita juga bisa menjalin hubungan yang baik
dengan masyarakat sehingga bisa meningkatkan nilai-nilai islam dalam membangun
masyarakat berperadaban.
B.
Saran
Semoga
setelah mempelajari dan memahami pembahasan ini kita dapat mengambil hikmah
betapa pentingnya tauhid didalam kehidupan kita sebagai umat islam untuk
tercapainya hablum minaallah wa hablu minanas. Untuk itu, kita sebagai
generasi penerus perjuangan Islam harus berusaha sekuat tenaga untuk
mengimplementasikan konsep tauhid dalam semua segi kehidupan kita. Pada
akhirnya kita berharap dan berdo'a kepada Allah SWT supaya mengembalikan
kejayaan ummat ini dengan konsep tauhid yang kita amalkan
Daftar Pustaka
1)
Al-Qur’anul Karim
2)
Dr. Kuntowijoyo. Paradigma Islam Penerbit Mizan
3)
Tauhid Jilid 1 Penerbit Ponorogo Darussalam Press
4)
Murtadha Muthahhari 1996. Islam dan tantangan zaman
Penerbit Pustaka hidayah.
5) http://suara tauhid.com/search/pengertian-tauhid-dalam-islam
7)
http://id.wikipedia.org/wiki/Tauhid